Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan
Penduduk
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
- Orang yang tinggal di daerah tersebut
- Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk
Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan
Penduduk, Masyarakat dan Budaya adalah 3 suatu hal yang sangat berkaitan, dimana suatu penduduk atau warga yang tinggal di suatu daerah, saling berinteraksi dan mimiliki kesamaan-kesamaan. Penduduk dan masyarakat yang tinggal di suatu daerah juga memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda.
Budaya Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya (adat) yang identik dengan Islam. Hal ini sesuai dengan ungakapan yang sangat populer dalam masyarakat Aceh: “Adat bak po Teumeureuhom Hukum bak Syiah Kuala, Antara hukum ngon adat lage zat ngon sipheut.”
Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak semua menjalankan syariat dengan baik.
Islam yang datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi Mekah”. Dari perkawinan ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat, diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa.
Keuchik dan Teungku
Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungakapan populer yang berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya : “Yang rayek tapeu ubit, nyak ubit tapengadoh” artinya “Masalah kecil jangan diperbesar, kalau dapat dihilangkan.”
Juga ungakapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya : “Meunya Tatem Ta megot-got harta bansot syedara pihna”, artinya: “Bila mau berbaik-baik harta/biaya tidak habis, atau persaudaran tetap terpelihara.”
http://revoluthion.wordpress.com/2009/06/06/memahami-budaya-masyarakat-aceh-dalam-pencarian-keadilan/
Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak semua menjalankan syariat dengan baik.
Islam yang datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi Mekah”. Dari perkawinan ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat, diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa.
Keuchik dan Teungku
Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungakapan populer yang berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya : “Yang rayek tapeu ubit, nyak ubit tapengadoh” artinya “Masalah kecil jangan diperbesar, kalau dapat dihilangkan.”
Juga ungakapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya : “Meunya Tatem Ta megot-got harta bansot syedara pihna”, artinya: “Bila mau berbaik-baik harta/biaya tidak habis, atau persaudaran tetap terpelihara.”
http://revoluthion.wordpress.com/2009/06/06/memahami-budaya-masyarakat-aceh-dalam-pencarian-keadilan/
penjualan daging meningkat pada saat meugang
Tradisi meugang di aceh
Warga Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan suci Ramadhan. Meugang yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga diperingati dua hari menjelang masuknya bulan suci. Meugang adalah tradisi di Aceh yang mungkin tidak ditemukan di daerah indonesia lainnya, meugang merupakan tradisi masyarakat aceh secara turun temurun. Meugang juga berlaku saat menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada saat meugang biasanya harga pasaran daging di aceh melambung tinggi karna tingginya permintaan.
Warga Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan suci Ramadhan. Meugang yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga diperingati dua hari menjelang masuknya bulan suci. Meugang adalah tradisi di Aceh yang mungkin tidak ditemukan di daerah indonesia lainnya, meugang merupakan tradisi masyarakat aceh secara turun temurun. Meugang juga berlaku saat menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada saat meugang biasanya harga pasaran daging di aceh melambung tinggi karna tingginya permintaan.